Pages

Minggu, Maret 16, 2014

Cerita Malam Minggu

Oleh: Asti Prativi 


Bagaimana cerita bisa dimulai, jika pemain utama pria tidak mengenal lawan mainnya...


Sebelum akhir zaman tiba, dunia akan selalu berputar. Berotasi di atas porosnya dan berevolusi mengelilingi matahari. Lagi-lagi waktu menggiringku pada malam minggu. Malam yang penuh kesibukan bagi sebagian anak muda di muka bumi ini. Ya, sibuk mengatur hati,
sibuk mengatur perasaan, dan sibuk mengatur waktu bagi mereka yang mempunyai seseorang yang istimewa di sampingnya. Tapi ini cerita berbeda. Ini cerita tentang aku yang sibuk mengatur hati dan perasaan untuk seseorang yang mungkin tidak mengenalku.

Namaku Risda Nabila Deviana. Ini tahun pertamaku duduk di bangku SMA. Akhirnya aku bisa merasakan masa SMA, yang kata orang kebanyakan sebagai masa terindah, penuh cerita warna-warni yang nantinya akan menjadi kenangan yang tak terlupakan. Kini, aku tahu alasannya mengapa orang berkata demikian.

Aku melihatnya, setiap istirahat, pukul 10.00 WIB. Ia akan duduk di bangku depan kelasnya, memainkan gitar atau sekadar bercengkrama dengan teman-temannya, dilengkapi dengan segelas cappucino ice sebagai minuman favoritnya. Dan aku cukup beruntung, karena aku berada di posisi strategis sehingga dapat melihatnya dengan jelas. Kelas kami sama-sama berada di lantai 2 dan hanya dipisahkan oleh jarak selebar halaman sekolah. Ya, kelas kami berseberangan. Jadi, setiap hari diwaktu yang sama, aku duduk di depan kelas sambil ‘membaca’ novel favoritku.

Aku kurang tahu pasti sejak kapan rutinitas seperti ini terjadi. Namun, aku benar-benar menikmatinya. Hatiku berbunga ketika melihatnya memainkan gitar dan suaranya seolah terdengar dengan sangat jelas, walaupun sebenarnya jarak kami cukup jauh.

Padahal, aku hanya mengetahui sebagian kecil informasi tentang dirinya. Adipati Indra Pratama, kelas XII IPS 1. Salah satu cowok idola yang banyak digandrungi kaum hawa. Hal itu sangat wajar, secara dia sangat piawai memainkan alat musik, wajah ala prince charming, lengkap dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya.

Semakin hari, bayangnya semakin sering menghampiri. Semakin sering menghantui. Kadang aku lupa diri, terlena dalam khayal, membiarkan kabut mengelabui hati. Padahal aku masih duduk disini. Hanya diam dan tidak melakukan apa-apa untuk membuatnya sadar akan keberadaanku.

Aku tetap melihatnya dalam diam, meski waktu tidak pernah diam. Waktu tidak akan berhenti jika tidak ada perintah dari-Nya. Waktu akan tetap berjalan sesuai kehendak Sang Kuasa. Hingga waktu membawa kami semakin dekat dengan ujian kenaikan kelas. Itu berarti aku akan menjadi anak kelas XI. Sedangkan dia benar-benar akan pergi meninggalkan tempat ini, SMA yang katanya penuh cerita warna-warni.

Aku tidak ingin ‘kehilangan’nya. Aku tidak ingin kehilangan jejaknya. Jadi kuputuskan untuk menghabiskan malam minggu kali ini dengan mencari tahu lebih banyak tentang dirinya. Hanya dengan mengetikkan nama, sederet akun sosial miliknya bermunculan. Dan disana, aku melihatnya. Terpajang dengan jelas fotonya bersama gadis cantik yang tersenyum manja. Kucoba mencari keterangan, namun tidak berhasil kutemukan. Tapi pose mereka berdua bisa memperjelas semuanya, bahwa mereka bukan teman biasa. Meskipun foto itu di-upload sekitar 3 tahun yang lalu, aku tetap tidak bisa menahannya. Kubiarkan ia mengalir, menumpahkan semuanya.

Ironis memang. Selama ini aku memikirkan seseorang yang bahkan mungkin tidak tahu bahwa aku ada. Dan malam minggu ini, aku meneteskan air mata untuknya. Apakah pertahanan hatiku terlalu buruk? Atau mungkin pertahanan yang kubangun malah menjadi penghancur utama mimpiku?

Entahlah. Rasanya bintang terlalu jauh untuk digapai. Terlalu lama untuk menunggu hujan reda hingga pelangi dapat membentang. Terlalu banyak kunang-kunang yang berkeliaran, hingga rasanya satu kunang tak mampu membuat cahaya terang. Terlalu kuat sinar bintang, hingga silaunya menutupi apa yang ada di seberang.

Aku tidak tahu seberapa dalam. Aku tidak tahu seberapa besar. Aku tidak tahu seberapa kuat rasa ini menyerang. Entah ini cinta, entah ini kagum, atau ini hanya obsesi belaka. Namun gilanya, ketika hati rasa sakit dirajam, bayangnya tetap menghadang, dan senyum masih bisa mengembang diantara tangisan kenyataan.

Ketakutan mulai membayang. Tapi, lagi-lagi aku memilih sembunyi dalam diam. Entah apa yang akan terjadi jika dia benar pergi meninggalkan masa ini. Apakah masa SMA ini akan tetap menjadi masa terindah? Ataukah hanya akan memberikan cerita abu-abu yang tidak jelas bagaimana ending-nya?
Entahlah. Karena sebenarnya aku sendiri ragu apakah cerita ini pernah dimulai.


***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar