Oleh: Asti Prativi
Bagaimana cerita bisa dimulai, jika pemain utama pria tidak mengenal lawan mainnya...
Sebelum akhir zaman tiba, dunia
akan selalu berputar. Berotasi di atas porosnya dan berevolusi mengelilingi
matahari. Lagi-lagi waktu menggiringku pada malam minggu. Malam yang penuh
kesibukan bagi sebagian anak muda di muka bumi ini. Ya, sibuk mengatur hati,
sibuk mengatur perasaan, dan sibuk mengatur waktu bagi mereka yang mempunyai seseorang yang istimewa di sampingnya. Tapi ini cerita berbeda. Ini cerita tentang aku yang sibuk mengatur hati dan perasaan untuk seseorang yang mungkin tidak mengenalku.
sibuk mengatur perasaan, dan sibuk mengatur waktu bagi mereka yang mempunyai seseorang yang istimewa di sampingnya. Tapi ini cerita berbeda. Ini cerita tentang aku yang sibuk mengatur hati dan perasaan untuk seseorang yang mungkin tidak mengenalku.
Namaku Risda Nabila Deviana. Ini tahun
pertamaku duduk di bangku SMA. Akhirnya aku bisa merasakan masa SMA, yang kata
orang kebanyakan sebagai masa terindah, penuh cerita warna-warni yang nantinya
akan menjadi kenangan yang tak terlupakan. Kini, aku tahu alasannya mengapa
orang berkata demikian.
Aku melihatnya, setiap istirahat,
pukul 10.00 WIB. Ia akan duduk di bangku depan kelasnya, memainkan gitar atau
sekadar bercengkrama dengan teman-temannya, dilengkapi dengan segelas cappucino ice sebagai minuman favoritnya.
Dan aku cukup beruntung, karena aku berada di posisi strategis sehingga dapat melihatnya
dengan jelas. Kelas kami sama-sama berada di lantai 2 dan hanya dipisahkan oleh
jarak selebar halaman sekolah. Ya, kelas kami berseberangan. Jadi, setiap hari diwaktu
yang sama, aku duduk di depan kelas sambil ‘membaca’ novel favoritku.
Aku kurang tahu pasti sejak kapan
rutinitas seperti ini terjadi. Namun, aku benar-benar menikmatinya. Hatiku berbunga
ketika melihatnya memainkan gitar dan suaranya seolah terdengar dengan sangat
jelas, walaupun sebenarnya jarak kami cukup jauh.
Padahal, aku hanya mengetahui sebagian kecil
informasi tentang dirinya. Adipati Indra Pratama, kelas XII IPS 1. Salah satu
cowok idola yang banyak digandrungi kaum hawa. Hal itu sangat wajar, secara dia
sangat piawai memainkan alat musik, wajah ala prince charming, lengkap dengan kacamata yang bertengger di hidung
mancungnya.
Semakin hari, bayangnya semakin
sering menghampiri. Semakin sering menghantui. Kadang aku lupa diri, terlena
dalam khayal, membiarkan kabut mengelabui hati. Padahal aku masih duduk disini.
Hanya diam dan tidak melakukan apa-apa untuk membuatnya sadar akan
keberadaanku.
Aku tetap melihatnya dalam diam,
meski waktu tidak pernah diam. Waktu tidak akan berhenti jika tidak ada
perintah dari-Nya. Waktu akan tetap berjalan sesuai kehendak Sang Kuasa. Hingga
waktu membawa kami semakin dekat dengan ujian kenaikan kelas. Itu berarti aku
akan menjadi anak kelas XI. Sedangkan dia benar-benar akan pergi meninggalkan
tempat ini, SMA yang katanya penuh cerita warna-warni.
Aku tidak ingin ‘kehilangan’nya. Aku
tidak ingin kehilangan jejaknya. Jadi kuputuskan untuk menghabiskan malam
minggu kali ini dengan mencari tahu lebih banyak tentang dirinya. Hanya dengan
mengetikkan nama, sederet akun sosial miliknya bermunculan. Dan disana, aku
melihatnya. Terpajang dengan jelas fotonya bersama gadis cantik yang tersenyum manja.
Kucoba mencari keterangan, namun tidak berhasil kutemukan. Tapi pose mereka
berdua bisa memperjelas semuanya, bahwa mereka bukan teman biasa. Meskipun foto
itu di-upload sekitar 3 tahun yang
lalu, aku tetap tidak bisa menahannya. Kubiarkan ia mengalir, menumpahkan
semuanya.
Ironis memang. Selama ini aku
memikirkan seseorang yang bahkan mungkin tidak tahu bahwa aku ada. Dan malam
minggu ini, aku meneteskan air mata untuknya. Apakah pertahanan hatiku terlalu
buruk? Atau mungkin pertahanan yang kubangun malah menjadi penghancur utama
mimpiku?
Entahlah. Rasanya bintang terlalu
jauh untuk digapai. Terlalu lama untuk menunggu hujan reda hingga pelangi dapat
membentang. Terlalu banyak kunang-kunang yang berkeliaran, hingga rasanya satu
kunang tak mampu membuat cahaya terang. Terlalu kuat sinar bintang, hingga
silaunya menutupi apa yang ada di seberang.
Aku tidak tahu seberapa dalam. Aku
tidak tahu seberapa besar. Aku tidak tahu seberapa kuat rasa ini menyerang. Entah
ini cinta, entah ini kagum, atau ini hanya obsesi belaka. Namun gilanya, ketika
hati rasa sakit dirajam, bayangnya tetap menghadang, dan senyum masih bisa
mengembang diantara tangisan kenyataan.
Ketakutan mulai membayang. Tapi,
lagi-lagi aku memilih sembunyi dalam diam. Entah apa yang akan terjadi jika dia
benar pergi meninggalkan masa ini. Apakah masa SMA ini akan tetap menjadi masa
terindah? Ataukah hanya akan memberikan cerita abu-abu yang tidak jelas
bagaimana ending-nya?
Entahlah. Karena sebenarnya aku
sendiri ragu apakah cerita ini pernah dimulai.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar